Guan Yu Adalah

Guan Yu Adalah

Notable Guandi temples worldwide (outside mainland China)

Sun-Liu territorial dispute

During the mid 210s, a territorial dispute broke out between Liu Bei and Sun Quan in southern Jing Province. According to an earlier arrangement, Liu Bei "borrowed" southern Jing Province from Sun Quan to serve as a temporary base; he would have to return the territories to Sun Quan once he found another base. After Liu Bei seized control of Yi Province, Sun Quan asked him to return three commanderies but Liu Bei refused. Sun Quan then sent his general Lü Meng to lead his forces to seize the three commanderies. In response, Liu Bei ordered Guan Yu to lead troops to stop Lü Meng.[Sanguozhi others 12] Gan Ning, one of Lü Meng's subordinates, managed to deter Guan Yu from crossing the shallows near Yiyang. The shallows were thus named 'Guan Yu's Shallows' (關羽瀨).[Sanguozhi others 13] Lu Su (the overall commander of Sun Quan's forces in Jing Province) later invited Guan Yu to attend a meeting to settle the territorial dispute. Around 215, after Cao Cao seized control of Hanzhong Commandery, Liu Bei saw that as a strategic threat to his position in Yi Province so he decided to make peace with Sun Quan and agreed to divide southern Jing Province between his and Sun Quan's domains along the Xiang River. Both sides then withdrew their forces.[Sanguozhi others 14]

In 219, Liu Bei emerged victorious in the Hanzhong Campaign against Cao Cao, after which he declared himself "King of Hanzhong" (漢中王). He appointed Guan Yu as General of the Vanguard (前將軍) and bestowed upon him a ceremonial axe. In the same year, Guan Yu led his forces to attack Cao Ren at Fancheng and besiege the fortress. Cao Cao sent Yu Jin to lead reinforcements to help Cao Ren. It was in autumn and there were heavy showers so the Han River overflowed. The flood destroyed Yu Jin's seven armies. Guan Yu had prepared his navy to advance during the flood, and Yu Jin surrendered to Guan Yu while his subordinate Pang De refused and was executed by Guan Yu. Various local officials such as Administrator of Nanxiang Fu Fang and Inspector Jing Province Hu Xiu defected to Guan Yu. Angered by Cao Cao's forced labor put upon them, rebel peasants and bandits in Liang(梁), Jia(郟) and Luhun(陸渾) also submitted to Guan Yu and received official seals to work as his raiders. Guan Yu's fame spread throughout China.[Sanguozhi 15][11]

The Shu Ji recorded that before Guan Yu embarked on the Fancheng campaign, he dreamt about a boar biting his foot. He told his son Guan Ping, "I am growing weaker this year. I might not even return alive."[Sanguozhi zhu 5]

With Liu Bei gaining Hanzhong as well as the northwest commanderies of Jing: Fangling, Shangyong and Xicheng; and now after Yu Jin's defeat, Cao Cao contemplated relocating the imperial capital from Xu further north into Hebei to avoid Guan Yu, but Sima Yi and Jiang Ji told him that Sun Quan would become restless when he heard of Guan Yu's victory. They suggested to Cao Cao to ally with Sun Quan and get him to help them hinder Guan Yu's advances; in return, Cao Cao would recognise the legitimacy of Sun Quan's claim over the territories in Jiangdong. In this way, the siege on Fancheng would automatically be lifted. Cao Cao heeded their suggestion. Previously, Sun Quan had sent a messenger to meet Guan Yu and propose a marriage between his son and Guan Yu's daughter. However, Guan Yu not only rejected the proposal, but also scolded and humiliated the messenger. Sun Quan was enraged.[Sanguozhi 16]

Citations from the Sanguozhi zhu

Links to related articles

Patung Guan Yu di Jingzhou

Kisah Sumpah Setia di Kebun Buah Persik

Guan Yu dalam pengembaraannya berjumpa dengan Liu Bei dan Zhang Fei di sebuah kedai arak. Dalam pembicaraan, mereka ternyata cocok dan satu hati, sehingga memutuskan mengangkat saudara. Upacara pengangkatan saudara ini dilaksanakan di rumah Zhang Fei dalam sebuah kebun buah Tao atau kebun persik. Liu Bei menjadi saudara tertua, Guan Yu yang kedua dan Zhang Fei yang ketiga.

Bersama-sama mereka bersumpah sehidup semati dan berjuang untuk membela negara. Peristiwa ini terkenal dengan nama “Tao Yuan Jie Yi” atau “Sumpah Persaudaraan Di Kebun Persik”, yang sangat dikagumi oleh orang dari zaman ke zaman dan dianggap sebagai lambang persaudaraan sejati. Lukisan tiga bersaudara yang sedang melaksanakan upacara sumpah angkat saudara ini banyak menjadi objek lukisan, pahatan, dan patung keramik yang sangat disukai orang hingga sekarang ini.

Kisah Guan Yu Terluka Oleh Panah Beracun

Pada saat Guan Yu berperang melawan pasukan Negara Wei, Guan Yu terluka oleh panah beracun. Tabib Hua Tuo melakukan bedah lengan Guan Yu tanpa anastesi dan menyembuhkan luka beracun tersebut dengan cara mengikis tulang. Hua Tuo menggunakan pisau untuk mengikis racun yang sudah merasuk ke tulang, hingga mengeluarkan bunyi. Tanpa dibius, Guan Yu tetap santai makan dan minum sambil bermain catur dengan muka senyum, sama sekali tidak tersirat wajah menahan sakit. Tabib sakti Hua Tuo memuji Beliau dengan berkata “Jenderal benar-benar seorang Dewa yang datang dari langit.”

Kekalahan Guan Yu dimulai dari situasi yang tidak menguntungkan di pihaknya. Cao Cao mulai mengajak Sun Quan untuk beraliansi secara diam-diam. Sun Quan yang sejak lama menginginkan kota Jingzhou (yang dikuasai Guan Yu pada waktu itu) agar kembali kedalam wilayah kekuasaannya, setuju dengan Cao Cao dan mengerakan pasukan merebut Jingzhou. Guan Yu akhirnya berhasil dijebak dan ditawan, kemudian dihukum mati karena menolak untuk memihak pada Sun Quan. Karena takut akan pembalasan Liu Bei, kepala Guan Yu dikirimkan ke tempat Cao Cao.

Pada waktu itu, Guan Yu ditangkap bersama Guan Ping, anak tertuanya, dibawa ke tengah perkemahan Sun Quan. Guan Yu hanya tertawa saja ketika dibawa untuk dihukum mati. Algojo yang akan memanggalnya menjadi ketakutan ketika menatap Guan Yu dan dia tidak berani untuk melaksanakan eksekusi itu, tidak ada prajurit biasa yang berani. Akhirnya Jenderal Pan Zhang dengan menggunakan Golok Naga Hijau memenggal kepala Guan Yu.

Cao Cao yang sejak lama kagum kepada Guan Yu memakamkan kepalanya setelah disambung dengan tubuh dari kayu cendana secara agung. Kuburan Guan Yu terletak di propinsi Henan kira-kira 7 km sebelah utara kota Louyang. Pemandangan di situ sangat indah, sedangkan bangunan kuburannya sangat megah seakan-akan sebuah bukit kecil dari kejauhan. Sekeliling bangunan itu ditanami pohon Bai (Cypress) yang selalu hijau, melambangkan semangat Guan Yu yang tidak pernah padam dan abadi dari jaman ke jaman. Pohon-pohon itu kini sudah menghutan dan ratusan tahun umurnya, sebab itu tempat tersebut dinamakan Guan Lin. Batu nisannya adalah hadiah dari kaisar Dinasti Qing, dimana makam itu telah dipugar kembali.

Berdekatan dengan Guan Lin, terdapat sebuat kelenteng peringatan untuk mengenang Guan Yu, yang dibangun pada jaman Dinasti Ming. Kelenteng itu merupakan hasil seni bangunan dan seni ukir yang bermutu tinggi, sehingga merupakan objek wisata yang selalu dikunjungi para wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri. Kelenteng peringatan Guan Yu terdapat di Jiezhou, propinsi Shanxi. Jiezhou, yang pada jaman San Guo disebut Hedong, adalah kampung halaman Guan Yu. Kelenteng itu memiliki keindahan bangunan dan arsitektur yang sangat mengagumkan dan merupakan salah satu objek wisata terkemuka di Shanxi.

Kwan Kong juga dikenal dengan nama mulia Kwan Seng Tee Kun adalah satu diantara dua dewa peperangan (Bu Seng) selain Yo Fei (Gak Hui 1103-1141 M). Kwan Kong atau Kwan Te (?-219 M) adalah sosok pribadi yang sangat dihormati di Tiongkok. Dikalangan Buddhis beliau dikenal sebagai Kwan Tee Pousat atau Ka Lam Pousat, sedangkan di kalangan Konfusianisme diakui sebagai salah satu Sin Beng yang dihormati.

Kwan Kong adalah seorang pahlawan yang hidupnya bersih, rendah hati, menjunjung tinggi persahabatan, patriot sejati, berpegang teguh terhadap dasar-dasar pribadi luhur. Golongan Taois mencantumkan beliau sebagai salah satu Sin Beng dalam buku Tao Chiao Chu Shen.

Perilaku atau sikap hidup Kwan Kong dalam kisah roman Tiga Negara (Sam Kok) 220-280 M adalah:

Teguh dalam tata Susila (Lee)

Setelah terkepung dalam peperangan dengan tantara Cho Cho, Kwan Kong bersedia menyerah dengan tiga syarat, yaitu; 1) Kwan Kong menyerah kepada Dinasti Han dan bukan kepada Cho Cho; 2) Memberikan perawatan dan kesejahteraan yang memadai bagi kedua istri Lauw Pi yang menjadi tanggung jawabnya; dan 3) Begitu Kwan Kong mengetahui di mana Lauw Pi (kakak angkatnya) berada, Kwan Kong direstui untuk menyusul. Ketiga syarat tersebut dipenuhi oleh Cho Cho. Namun untuk Kwan Kong dan kedua kakak iparnya hanya disediakan satu kamar dengan maksud untuk mengaburkan tata Susila antara ketiganya. Meski dengan kondisi demikian, Kwan Kong mempersilahkan kakak iparnya tidur di dalam kamar, sedangkan beliau sendiri berdiri di muka pintu. Sebelah tangan memegang golok ceng-liong yang-goat to dan tangan lainya memegang kitab Cun Ciu yang dibacanya semalam suntuk.

Kesetiaan terhadap saudara angkat – nya, Lau Pi (Tiong dan Sin)

Ketika menerima jubah sutera yang indah dari Cho Cho, Kwan Kong memakainya di sebelah dalam sementara baju luarnya tetap yang berasal pemberian Lauw Pi, sebagai tanda tidak melupakan sumpah sebagai saudara. Begitu Kwan Kong mendengar Lauw Pi ada bersama Wan Siao, beliau langsung memboyong kedua kakak iparnya dan menyusul ke tempat Wen Sao segera tanpa meminta restu dari Cho Cho. Dalam perjalanan melalui berbagai macam ancaman bahaya di lima kota (kisah ini adalah Kwan Kong Kwe Ngo Kwan) yang terkenal dalam Sam Kok.

Berperikemanusiaan yang mendalam dan berbudi luhur (Jin-Gi)

Dalam peperangan besar di sungai Tiang Kang (Chang Tsiang) sebagai kisah pertempuran besar di Cek-pek, tentara Cho Cho yang berjumlah 830.000 orang; 7.000 kapal besar dan kecil yang sudah digandengkan dalam rangkaian 30 kapal tiap kelompoknya serta perbentengan sepanjang kira-kira 300 li lebih, dibakar dan dihancurkan oleh pasukan Tong Gouw atas keunggulan dan taktik perang Ciu Ji dan Cu Kat Liang (Kong Beng) yang terkenal. Tentara dan para panglima termasuk Cho Cho sendiri digempur, dikepung, dikejar, disergap dan dimusnahkan. Akhirnya Cho Cho dengan pengikutnya yang berjumlah ratusan orang dalam keadaan terluka, letih, lapar, kedinginan, dengan semangat yang hancur lebur serta dalam keputusasaan mereka lari melalui celah pegunungan yang sempit yaitu celah Koay Yong To. Ternyata disana telah siap dengan pasukan yang masih segar dan gagah, Kwan Kong sambil melintangkan golok Naga Hijau berbentuk bulan sabit yang besar. Beliau tampak angker dan gagah perkasa. Tentara Cho Cho yang camping-camping begitu ketakutan.

Dalam keadaan terpaksa Cho Cho memohon diberi jalan hidup dengan mengungkapkan penghargaan, budi kebaikan yang pernah ia berikan ketika Kwan Kong tinggal di Kota Raja Dinasti Han serta hubungan yang sangat akrab antara keduanya. Kwan Kong sebagai sosok manusia yang sangat menjunjung tinggi budi orang, sangat tersentuh sanubarinya, dan hatinya luluh mendengar perkataan Cho Cho.

Kisah selanjutnya Kwan Kong membiarkan Cho Cho bersama tentara yang sudah tidak keruan keadaannya lewat tanpa gangguan. Sesaat kemudian Kwan Kong membentak tentara yang melaluinya, serentak tentara Cho Cho turun dari kuda serta berlutut sambal menangis; Kwan Kong segera memalingkan muka dengan penuh haru dan kembali ke markas pasukan besar dengan loyo. Perasaan belaskasihannya bergejolak, namun dengan tindakan yang dilakukannya itu, Kwan Kong sebenarnya menghadapi hukuman penggalan kepala. Persoalan yang dihadapinya bersumber kepada surat perjanjian yang dibuat bersama dengan Kong Beng. Isi perjanjian tersebut adalah tentang Cho Cho dan tentara yang kalah perang.

Apabila Cho Cho dan tentaranya tidak lewat celah Hoay Yong To, Kong Beng siap untuk dipenggal kepalanya; sebaliknya jika Cho Cho dan tentaranya lewat disana dan Kwan Kong tidak berhasil menangkapnya, Kwan Kong harus menyerahkan kepalanya untuk dipenggal.

Begitu agung rasa pengorbanan karena rasa kasihannya yang sangat besar.

Di medan perang Kwan Kong senantiasa berlandaskan ajaran Ti Jian Yong (kearifan kasih saying dan teguh) yang terkandung dalam kitab Tiong Yong.

Itulah sekelumit kisah sosok pribadi agung, Kwan Kong atau Kwan In Tiang.

Sumber : kisah para suci, penerbit Bhakti. 2011.

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Guan Yu (meninggal dunia pada tahun 219),[1] dengan gaya namanya iaitu Yunchang, merupakan seorang jeneral yang berkhidmat di bawah laksamana Liu Bei pada lewat Dinasti Han Timur di China.

Jika anda melihat rencana yang menggunakan templat {{tunas}} ini, gantikanlah dengan templat tunas yang lebih spesifik.

Last Updated on 24 September 2021 by Herman Tan Manado

Guan Gong (Hanzi : 关公, Hokkian : Kwan Kong) adalah seorang Jenderal perang kenamaan yang hidup pada jaman 3 Kerajaan Sam Kok (三國; San Guo), pada rentang tahun 160 – 220 M.

Nama aslinya adalah Guan Yu (关羽), atau Guan Yun Chang (关云长). “Guan” adalah marganya, dan “Gong” berarti tuan, atau gelar kehormatan. Oleh karena itu, Guan Gong berarti “Dewa Guan”.

Beliau juga disebut Guan Sheng Di Jun (關聖帝君), dan oleh Kaisar Han, Beliau diberi gelar Han Shou Ting Hou (漢夀亭侯) yang berarti “Marquis dari Han Shou”.

Beliau dipuja karena kesetiaan dan kejujuran, sebagai lambang/teladan sifat2 ksatria sejati yang selalu menempati janji dan setia pada sumpahnya. Oleh sebab itu, Guan Gong merupakan Dewa yang paling banyak dipuja di kalangan masyarakat. disamping kelenteng2 yang secara khusus memuja-Nya. Lukisan Nya banyak terpasang di rumah pribadi, toko, bank, kantor polisi, pengadilan, sampai di markas organisasi mafia! Dimana para anggota perkumpulan rahasia itu biasanya berkumpul dan melakukan sumpah setia satu sama lain.

Karena itu, Beliau adalah satu2 nya Dewa yang dipuja, baik oleh orang2 golongan hitam maupun orang2 golongan putih.

Di samping dipuja sebagai lambang kesetiaan dan kejujuran, Guan Yu juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, Dewa Pelindung Kesusastraan, dan Dewa Pelindung rakyat dari malapetaka peperangan yang mengerikan.

Julukan “Dewa Perang” sebagai umumnya dikenal dan dialamatkan kepada Guan Yu, harus diartikan sebagai Dewa yang bertugas untuk menghindarkan peperangan dan segala akibatnya yang menyengsarakan rakyat, sesuai dengan watak-Nya yang budiman. Guan Yu adalah penduduk asli kabupaten Hedong (sekarang kota Yuncheng), Propinsi Shanxi, Tiongkok.

Kebajikan Guan Gong melambangkan Kehormatan, Loyalitas, Integritas, Keadilan, Keberanian, dan Kekuatan, adalah cita2 yang benar2 dapat mempengaruhi kita. Di Negara2 barat, Dewa Guan Gong dikenal “Tao God of War”. Sebutan ini berasal dari fakta bahwa Dewa Guan Gong adalah jenderal militer yang paling terkenal di sepanjang sejarah Tiongkok.

F. Penggambaran dan Visualisasi

Guan Gong umumnya divisualisasikan dengan berpakaian perang lengkap, kadang2 sambil membaca buku, bersama putra angkatnya Guan Ping (關平) yang memegang cap kebesaran, dan Zhou Chang (周仓) pengawalnya yang setia, bertampang hitam brewokan, memegang golok Guandao yang bernama “Naga Hijau Mengejar Rembulan” (靑龍偃月刀; Qing long yanyuedao), senjata andalan-Nya.

Menurut Bab 1 dari Romance of the Three Kingdoms, golok tersebut memiliki berat 82 kati. Selama periode Dinasti Han Timur (25 SM – 220 M) dan Tiga Kerajaan (220 – 280), 1 kati adalah sekitar 220 gram, jadi 82 kati sekitar 18 kilogram.

Dalam pemujaan dikalangan Buddhis, Guan Gong dipuja sendirian tanpa penggiring. Sering juga ditampilkan sebagai Qie Lan Pu Sa (伽蓝菩萨) atau Boddhisatwa Pelindung, bersama Wei Tuo Pu Sa.

Patung2 (arca) Guan Gong umumnya divisualisasikan sebagai seorang yang berusia kebapakan, berjenggot panjang, berwajah coklat gelap, dan bibir merah tua. “Beliau memiliki mata seperti phoenix, dan memiliki alis lebat seperti ulat sutra.p

Hari kebesaran-Nya (hari kelahiran/sejid) diperingati setiap tanggal 24 bulan 6 imlek, sementara tanggal 13 bulan 1 imlek sebagai hari kenaikan-Nya (menjadi Dewa).

Sementara Guan Ping (memperoleh gelar Ling Hou Thi Zi), diperingati setiap tanggal 13 bulan 5 imlek, dan Zhou Chang (Jenderal Zhou), diperingati setiap tanggal 20 bulan 10 imlek.

Seiring dengan mengalirnya para imigran Tionghoa keluar Tiongkok, pemujaan Guan Gong tersebar ke berbagai Negara yang menjadi tempat tinggal para perantau tersebut.

Seperti di Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Singapura dan Indonesia, banyak sekali kelenteng yang memuja Dewa Guan Gong. Di Indonesia, kelenteng terbesar yang khusus memuja Kwan Kong dengan wilayah seluas 4 Hektar adalah kelenteng Kwan Sin Bio (Guan Sheng Miao) di Tuban, Jawa Timur.

Di klenteng2 Kuan Kong, biasanya ikut dipuja juga seorang tukang kuda, yang dipanggil Ma She Ye atau Tuan Ma. Ia bertugas merawat kuda tunggangan Kwan Kong yang disebut Chi Tu Ma (Kelinci Merah; Red Rabbit), yang konon dalam sehari bisa menempuh jarak 500 km tanpa merasa lelah.

Karakter dan sifat mulia yang tercermin dari sosok Beliau, bisa menjadi teladan bagi kita semua :

1. Wajib sepenuhnya menghargai Kesetiaan, Berbakti dan Keadilan. 2. Lambang Kehormatan, Loyalitas, Integritas, Keadilan, Keberanian, dan Kekuatan. 3. Patriotis sejati.

4. Menjaga norma susila. 5. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan. 6. Tidak silau akan nama dan harta. 7. Mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada diri sendiri.

Guan Yu bukan saja telah menjadi sosok yang identik dengan Dewa Besar agama TAO, tetapi Beliau juga adalah penyatu kultur masyarakat Tiongkok di manapun berada, dan menjadi sebuah lambang Kesetiaan, Kejujuran, dan Pengabdian!

Guan Yu (Hanzi: 關羽) (160 / 164 - 219 / 220) adalah seorang jenderal terkenal dari Zaman Tiga Negara. Guan Yu dikenal juga sebagai Kwan Kong, Guan Gong, atau Kwan Ie, dilahirkan di kabupaten Jie, wilayah Hedong (sekarang kota Yuncheng, provinsi Shanxi), ia bernama lengkap Guan Yunchang (Hokkien: Kwan Yintiang).

Guan Yu merupakan jenderal utama Negara Shu Han, ia bersumpah setia mengangkat saudara dengan Liu Bei (kakak tertua) dan Zhang Fei (adik terkecil).

Dalam konteks populer, Guan Yu [1] sering digambarkan sebagai tokoh yang berwajah merah.

Pada masa Pemberontakan Serban Kuning, tepatnya tahun 188, tiga orang rakyat jelata bertemu di kabupaten Zhuo. Mereka adalah Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei, yang memiliki hasrat yang sama untuk berjuang membela negara dan mengembalikan ketentraman bangsa Tiongkok yang sedang bergejolak. Tak lama, mereka bertiga bersumpah sehidup semati untuk menjadi saudara di kebun persik yang terletak di halaman belakang rumah milik Zhang Fei. Liu Bei sebagai kakak tertua, diikuti dengan Guan Yu dan Zhang Fei.

Guan Yu [2]bertempur bersama Liu Bei dan Zhang Fei dalam menumpas Pemberontakan Serban Kuning. Tak lama, semenjak negeri Tiongkok dikuasai oleh Dong Zhuo, Liu Bei dan kedua saudaranya bergabung dalam angkatan perang Gongsun Zan. Gongsun sendiri saat itu ikut dalam suatu koalisi penguasa daerah yang menentang Dong Zhuo. Dong menempatkan Hua Xiong untuk menjaga celah Sishui. Hua Xiong seakan tidak terkalahkan setelah membunuh 4 perwira pasukan koalisi, yaitu Bao Zhong, Zu Mao, Yu Shen dan Pan Feng. Guan Yu yang hanya seorang pemanah berkuda menawarkan diri untuk mengalahkan Hua Xiong. Saat tak ada pemimpin koalisi yang percaya, Guan Yu berjanji untuk memberikan kepalanya apabila gagal. Guan Yu kembali dengan kepala Hua Xiong saat anggur merah–yang dituang Cao Cao sebelum Guan Yu pergi–masih hangat.

Dikenal sebagai seorang jendral yang tangguh, Guan Yu dibujuk Cao Cao untuk menjadi pengikutnya saat ketiga bersaudara tercerai berai karena kejatuhan Xuzhou dan Xiapi. Zhang Liao, seorang jendral Cao Cao dan kawan lama Guan Yu mencoba membujuk sang jendral untuk menyerah. Guan Yu bersedia atas dasar 3 kondisi :

Dengan kondisi itu, Guan Yu dapat menyerah tanpa melanggar sumpah saudara. Cao Cao dengan gembira menyanggupinya. Bahkan Guan Yu diberi banyak hadiah, yang hampir semuanya ia kembalikan ke Cao Cao kecuali kuda merah, kuda andalan yang sebelumnya dimiliki oleh Lu Bu.

Saat bertempur melawan Yuan Shao di Pertempuran Baimajin, Cao Cao menugaskan Guan Yu untuk melawan 2 jendral besar Yuan, yaitu Yan Liang dan Wen Chou. Guan berhasil membinasakan keduanya dan mengakibatkan hubungan Yuan Shao dan Liu Bei–yang saat itu berlindung pada Yuan Shao–memburuk. Liu Bei akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Yuan Shao. Pada saat yang bersamaan, Guan Yu yang mengetahui di mana Liu Bei memutuskan meninggalkan Cao Cao dan melakukan perjalanan untuk bertemu saudaranya. Cao Cao tak dapat menahannya dan akhirnya membiarkan Guan Yu pergi.

Dalam perjalanan tersebut, Guan Yu semakin terkenal karena ia berhasil melewati 5 kota Cao Cao dan membunuh 6 perwira yang menghalanginya. Diawali dengan mengawal kereta yang membawa kedua isteri Liu Bei melewati celah Dongling (sekarang: FengFeng, provinsi Henan), Guan dihentikan oleh Kong Xiu yang menolak memberi izin tanpa surat resmi dari Cao Cao. Guan Yu tak memiliki pilihan lain selain membunuhnya.

Selanjutnya Guan Yu tiba di luar kota Luoyang. Gubernur kota itu, Han Fu membawa 1000 prajurit untuk menghalangi Guan Yu. Asisten Han Fu, Meng Tan maju untuk berduel dengan Guan Yu. Ia mencoba menjebak Guan Yu, tetapi kuda Guan Yu lebih cepat dan Meng Tan tewas terbelah golok Guan Yu. Saat itu Han Fu berhasil memanah lengan Guan Yu. Tanpa takut, Guan Yu mengejar Han Fu dan menebasnya.

Saat melewati celah Sishui (sekarang: Xingyang, provinsi Henan), penjaga celah tersebut, Bian Xi memimpin 200 anak buahnya untuk menjebak Guan Yu di sebuah kuil. Salah seorang pendeta memperingati Guan Yu yang berhasil mengatasi jebakan dan membunuh Bian Xi.

Wang Zhi, gubernur Xingyang mencoba jebakan yang sama. Berpura-pura baik kepada Guan Yu, ia menempatkan Guan Yu di sebuah tempat peristirahatan. Malamnya ia menyuruh Hu Ban, anak buahnya, untuk membakar tempat tersebut. Ternyata ayah Hu Ban (Hu Hua) pernah menitipkan surat pada Guan Yu, yang disampaikan Guan Yu kepada Hu Ban. Hu Ban lalu membocorkan rencana Wang Zhi dan membantu Guan Yu melarikan diri. Saat dikejar, Guan Yu berhasil membunuh Wang Zhi.

Akhirnya rombongan Guan Yu tiba di tepi selatan sungai Kuning. Saat hendak menyebrang sungai, Qin Qi yang berusaha menghalangi, menemui ajalnya di ujung golok Guan Yu.

Selama perjalanan tersebut, Guan Yu juga berhadapan dengan Xiahou Dun yang tetap tidak ingin memberi jalan pada Guan Yu sampai Zhang Liao menyampaikan padanya pesan Cao Cao untuk mengizinkan Guan Yu pergi. Saat itu Liu Bei sudah pindah ke Runan. Di akhir perjalanan, Guan Yu bertemu Zhang Fei yang murka pada Guan Yu karena menduga ia telah berkhianat. Guan akhirnya bisa membuktikan dengan mengalahkan Cai Yang yang mengejarnya demi membalaskan dendam atas terbunuhnya Qin Qi, keponakannya.

Sangharama Bodhisattva adalah gelar atau sebutan lain untuk jendral ini. Jenderal yang sangat gagah dan setia ini menjadi pengikut Buddha setelah bertemu dengan seorang bhiksu bernama Pu Jing di gunung Yuquan. Saat itu arwahnya sedang menuntut balas atas perbuatan para jendral Wu yang memenggal dirinya. Ia berteriak "kembalikan kepalaku!!" Bhiksu Pu Jing lalu berkata, "Kepada siapakah Yan Liang, Wen Chou, dan para panglima lain yang kepalanya kau tebas berteriak?" Guan Yu lalu sadar dan berlindung kepada Sang Triratna dan Dhamma. Keberadaan Bhiksu Pu Jing sendiri disebutkan dalam sejarah dan tempat gubuknya berdiri di gunung Yuquan sekarang menjadi kuil Yuquan.

Guan Yu bernama lengkap Yunchang (bernama asli Changsheng), berasal dari Hedong dan pernah menjadi buron di distrik Zhuo. Saat Liu Bei mengumpulkan pasukan di desanya, Guan Yu dan Zhang Fei membantunya untuk melawan para pemberontak. Liu Bei kemudian diangkat menjadi Gubernur Pingyuan, sedangkan Guan Yu dan Zhang Fei sebagai walikota. Mereka bertiga tinggal bersama dalam satu atap bagaikan saudara. Saat Liu Bei membunuh Che Zhou, gubernur Xuzhou, dia memerintahkan Guan Yu untuk mengatur pemerintahan kota Xiapi, sedangkan ia mengatur di Xiaopei.

Pada tahun ke-5 JianAn (200 M), Cao Cao menguasai wilayah Liu Bei dan Liu Bei mencari suaka pada Yuan Shao. Cao Cao berhasil menangkap Guan Yu dan mengangkatnya menjadi perwira, dengan pangkat Pian Jiangjun (Letnan Jendral). Yuan Shao mengirim jendralnya Yan Liang untuk menyerang Liu Yan di Baima, dan Cao Cao membalas dengan mengirimkan Zhang Liao sebagai panglima pelopor. Guan Yu yang melihat payung kebesaran Yan Liang langsung memburunya dan membunuh Yan Liang. Ia membawa kepala Yan Liang sedangkan pasukan Yuan Shao mundur dari pertempuran. Guan Yu dianugerahi gelar Hanshou Tinghou (Marquis Hanshou).

Awalnya Cao Cao merasa puas dengan Guan Yu tetapi lama kelamaan tahu bahwa Guan Yu ragu untuk menetap. Akhirnya ia memerintahkan Zhang Liao untuk menemui dan membujuknya. Jawab Guan Yu, "Saya sangat memahami penghormatan yang diberikan Cao Cao, namun jendral Liu (Bei) juga telah memperlakukan saya dengan baik maka saya bersumpah untuk mati bersamanya dan tak akan mengkhianatinya. Saya tak akan tinggal di sini selamanya, tetapi saya mau menorehkan jasa besar sebelum pergi untuk membayar kebaikan Cao Cao." Zhang Liao menjelaskan hal itu kepada Cao Cao yang terkesan dengan kebaikannya. Melihat Guan Yu membunuh Yan Liang, Cao Cao mengerti Guan Yu akan segera meninggalkannya, maka ia segera membanjirinya dengan hadiah. Guan Yu menyegel semua hadiah itu sambil menyerahkan surat pengunduran diri sebelum pergi menyusul Liu Bei. Cao Cao mencegah anak buahnya mengejar sambil berkata "Semua punya tuannya masing-masing, janganlah kita memburunya."

Tak lama Liu Bei bergabung dengan Liu Biao. Saat Liu Biao meninggal, Cao Cao mengamankan Jingzhou dan Liu Bei harus mengungsi ke selatan. Liu Bei mengutus Guan Yu membawa beberapa ratus kapal untuk menemuinya di Jiangling. Cao Cao mengejar sampai ke jembatan Changban sehingga Liu Bei harus menyeberanginya untuk bertemu Guan Yu dan bersamanya pergi ke Xiakou. Sun Quan mengirim pasukan untuk membantu Liu Bei bertahan dari Cao Cao, hingga Cao Cao menarik mundur pasukannya. Liu Bei kemudian menentramkan wilayah Jiangnan, mengadakan upacara penghormatan korban perang, mengangkat Guan Yu sebagai gubernur Xiang Yang dan menggelarinya Dangkou Jiangjun (Jendral yang Menggentarkan Penjahat). Guan Yu ditempatkan di utara sungai Kuning.

Saat Liu Bei menentramkan Yizhou, dia mengutus Guan Yu untuk menjaga Jingzhou. Guan Yu mendapat kabar Ma Chao menyerah. Karena ia belum pernah berkenalan, maka ia mengirim surat pada Zhuge Liang, "Siapa yang dapat menandingi kemampuan Ma Chao?" Untuk menjaga perasaan Guan Yu, Zhuge Liang menjawab, "Ma Chao sangat pandai dalam seni literatur dan seni perang, lebih kuat dan berani dari kebanyakan orang, seorang pahlawan yang dapat menandingi Qing atau Peng dan dapat menjadi tandingan Zhang Fei yang hebat, tetapi dia bukan yang dapat menandingi Sang Jendral Berjanggut Indah" (yaitu Guan Yu). Guan Yu bangga membaca surat itu dan menunjukkannya pada tamu-tamunya yang hadir.

Guan Yu pernah terkena panah pada lengan kirinya, walaupun lukanya sembuh, tetapi tulangnya masih terasa sakit terutama pada saat hawa dingin ketika hujan turun. Seorang tabib bernama Hua Tuo berkata "Ujung panahnya diberi racun, dan telah menyusup ke dalam tulang. Penyembuhannya dengan cara membedah lengan dan mengikis tulang yang terinfeksi racun sebelum menjadi parah di kemudian hari." Guan Yu langsung menyingsingkan lengan baju dan meminta sang tabib menyembuhkannya. Saat dibedah, Guan Yu makan dan minum dengan perwiranya walaupun darah terus mengucur dari lengannya. Selama proses itu berlangsung, Guan Yu menengguk arak, bersenda gurau dan bermain Weiqi(GO) melawan Ma Liang seperti biasa.

Tahun ke-24 Jian An (219), Liu Bei mengangkat diri menjadi Raja Hanzhong dan mengangkat Guan Yu menjadi Qian Jiangjun (Jendral Garis Depan). Pada tahun yang sama, Guan Yu memimpin tentaranya untuk menyerang Cao Ren di benteng Fan. Cao Cao mengirim Yu Jin untuk membantu Cao Ren. Saat itu musim dingin dan hujan turun teramat derasnya sehingga meluapkan air sungai Han. Akhirnya ketujuh pasukan yang dipimpin Yu Jin seluruhnya hanyut. Yu Jin menyerah pada Guan Yu yang lalu mengeksekusi Pang De. Perampok daerah Liang yaitu Jia dan Lu direkrut oleh Guan Yu untuk membantunya dalam pertempuran tersebut. Sejak itu nama Guan Yu terkenal di seluruh dataran Tiongkok.

Cao Cao lalu mendiskusikan dengan para pembantunya apakah relevan untuk memindahkan ibukota negara ke Xudu untuk menghindari pertempuran dengan pasukan Guan Yu yang terkenal kuat. Sima Yi menolak ususlan itu dan mengusulkan hal lain. Dia memperkirakan bahwa Sun Quan juga tidak akan membiarkan Guan Yu meraih kemenangan berikutnya, oleh sebab itu Sima Yi menyusun strategi dan mengirim utusan kepada Sun Quan, memohon agar pasukannya menyerang pasukan Guan Yu dari belakang dan sebagai imbalan maka Sun Quan akan mendapatkan Jiangnan—hal ini juga bertujuan agar pasukan di benteng Fan akan bergabung juga dengan Sun Quan untuk memperkuat aliansi. Cao Cao akhirnya menerima usulan ini.

Perseteruan antara Guan Yu dan Sun Quan pada awalnya terjadi ketika Sun Quan mengirimkan utusan ke Guan Yu untuk mengungkapkan keinginannya mempersunting anak perempuan dari Guan Yu untuk dipersandingkan dengan anak laki-lakinya. Namun, Guan Yu menghina utusan tersebut dan menolak proposal yang diajukan. Sun Quan sangat marah dan merasa terhina dengan penolakan itu dan menyimpan dendam terhadap Guan Yu. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Sima Yi untuk memperlemah posisi Guan Yu.

Disamping itu ada juga hal lain yang turut memperlemah posisi Guan Yu dalam peperangan ini. Mi Fang, Gubernur Nanjun di kota Jiangling dan Jenderal Fu Shiren, yang bertugas di Gong An, yang menjadi bagian dari pasukan Guan Yu merasa Guan Yu tidak pernah menganggap mereka. Bahkan sejak terakhir kalinya Guan Yu mengirimkan pasukan ke medan perang, Mi Fang and Fu Shiren hanya ditugaskan untuk menjaga suplai persediaan makanan dan senjata di garis belakang dan tidak terlibat sama sekali dalam setiap peperangan. Isu tersebut terdengar oleh Guan Yu dan dia memutuskan akan menjatuhkan hukuman kepada mereka setelah kembali dari medan perang. Mendengar berita itu, Mi Fang and Fu Shiren sangat ketakutan. Sun Quan menggunakan kesempatan ini untuk menggoyahkan loyalitas mereka dengan memerintahkan pasukan mereka untuk menyerah, dan akhirnya hal itu terjadi, sehingga pasukan Wu bisa menguasai daerah tersebut. Cao Cao lalu mengutus Xu Huang untuk membantu Cao Ren dalam mempertahankan benteng Fan dari gempuran pasukan Guan Yu; Guan Yu tidak berhasil dalam misinya untuk menaklukkan Cao Cao dan akhirnya mundur, akan tetapi pasukan Sun Quan telah menguasai Jiangling dan menyandera istri-istri dan anak-anak dari pasukan Guan Yu. Hal ini membuat perpecahan di dalam pasukan Guan Yu. Akhirnya Sun Quan mengirimkan jenderal-jenderalnya untuk menangkap Guan Yu dan kemudian menghukum mati Guan Yu beserta anaknya Guan Ping di Lingju.

Dian Lue: Ketika Guan Yu mengepung kota Fan, Sun Quan mengirim utusan untuk membantu. Ia memerintahkan utusan itu untuk tidak terburu-buru, tetapi mengirimkan pegawai sipil berpangkat tinggi kepada Guan Yu. Guan Yu kesal dengan keterlambatan itu, apalagi saat itu ia sudah menangkap Yu Jin sehingga ia mencela "Jika kalian gurita kecil berani menyerang kota Fan, tidakkah kau pikir saya dapat menghancurkan kau?"

Pei Song Zhi: Hamba pikir walaupun Shu dan Dong terlihat akur, tetapi terdapat kecurigaan berlebihan antara keduanya akan kepentingan satu sama lainnya. Ini sebabnya mengapa Sun Quan diam-diam menyerang Guan Yu. Menurut Lu Meng Zhuan (Biografi Lu Meng) : "Pasukan gerilya telah disiapkan dalam kapal besar dan rakyat jelata yang menyamar sebagai pedagang diperintahkan untuk mengayuh kapal tersebut." Jika memang ada niat baik untuk membantu dari pihak Wu, mengapa Sun Quan merahasiakan pasukan itu?

(7)Shu Ji (Buku Shu): Guan Yu dan Xu Huang adalah teman dekat dan saling berkomunikasi walau terpisah jarak yang jauh. Namun mereka hanya membicarakan hal-hal sepele yang tidak berhubungan dengan urusan kemiliteran. Saat bertempur, Xu Huang berteriak "Siapa yang dapat mengambil kepala Guan Yu akan dihadiahkan seribu keping uang emas!" Guan Yu terkejut dan bertanya "Kakak, mengapa kau berbicara seperti itu?" Jawab Xu Huang,"Ini adalah urusan negara."

(8)Shu Ji (Buku Shu): Sun Quan memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan menangkap Guan Yu serta putranya, Guan Ping. Sun Quan ingin keduanya hidup-hidup sebagai tameng serangan Shu dan Wei. Namun, anak buahnya berdalih "Membiarkan sarang serigala sama saja mengasuh bencana di kemudian hari. Cao Cao telah mengalaminya,sampai harus memindahkan ibukotanya. Bagaimana mungkin kita membiarkannya hidup?" Maka, Guan Yu dan putranya dihukum mati.

Pei Song Zhi: Hamba ingin menegaskan Buku Wu, yang mengatakan Sun Quan mengirimkan jendral Pan Zhang untuk menghambat jalur larinya Guan Yu yang kemudian dieksekusi mati di tempat. Jarak antara Lin Ju dan Jiangling sekitar 200 sampai 300 mil, sehingga Guan Yu tidak mungkin dibiarkan hidup sampai Sun Quan dan perwiranya selesai berdebat apakah perlu melepaskannya. Pernyataan "Sun Quan ingin keduanya hidup-hidup sebagai tameng serangan Shu dan Wei" adalah tidak benar. Wu Li (Buku Kronologis Negeri Wi) mengatakan "Sun Quan mengirim kepala Guan Yu ke Cao Cao saat perwiranya menyiapkan pemakaman yang layak bagi sisa jasadnya."

Guan Yu dianugerahi gelar anumerta Zhuangzhou Hou (Marquis Zhuangzhou). Putranya, Guan Xing menggantikannya. Guan Xing, bernama lengkap Anguo, jarang mempertanyakan perintah sehingga amat disukai oleh perdana menteri Zhuge Liang. Guan Xing diangkat menjadi Shizhong (Ajudan Istana) dan Zhongjiangjun (Jendral Pasukan Utama/Tengah) saat kesehatannya menurun. Beberapa tahun kemudian ia wafat dan digantikan putranya, Guan Tong sebagai Huben Zhonglang Jiang (Jendral yang memiliki Kelincahan Macan). Guan Tong wafat tanpa memiliki keturunan laki-laki.

(9)Shu Ji (Buku Shu): Saat Guan Yu bertolak ke kota Fan, ia bermimpi seekor babi hutan menggigit kakinya. Yu Zi Ping berkata "Kau akan hancur pada tahun ini, dan tidak akan kembali bangkit."

(10)Shu Ji (Buku Shu): Putra Pang De, Pang Hui bertempur di bawah Zhong Hui dan Deng Ai untuk menghancurkan Shu. Saat merebut Shu, ia membinasakan seluruh anggota keluarga Guan yang masih hidup.

Di game buatan KOEI yaitu Dynasty Warriors, Guan Yu digambarkan sebagai panglima gagah, tinggi dan berwibawa. senjatanya adalah Guan Dao bernama "Blue Dragon Spike" atau "Green Dragon Halbred". di serial ke 7, dia membunuh Hua Xiong dan bergabung dengan Cao Cao pada pertempuran Guandu. dia mengakhiri hidupnya di "Fan Castle" pada pertempuran melawan Wu dan Wei.

Anime Jepang yang sangat populer Ikkitousen juga mengungkap kisah ini, namun dikarenakan bernuansa fanservice, anime ini membuat perubahan secara zaman dan postur tubuh, serta jenis kelamin dari Guan Yu. Guan Yu dikenal sebagai Kanu Unchou pada anime seri Ikkitousen ini. Ditemani juga oleh 2 panglima terdekatnya Ryuubi Gentoku (Liu Bei) dan Chouhi Ekitoku (Zhang Fei).

Walau terkesan aneh, namun menurut cerita anime Ikkitousen, Sousou Motoku (Cao Cao) pimpinan kerajaan Wei terkesan tertarik dengan Kanu-Unchou.

Dalam catatan sejarah dan mitologi Cina, beberapa tokoh yang menjulang sebesar 关羽 (Guan Yu). Terkenal dengan kesetiaan yang tidak berbelah bahagi, keberanian yang tidak terkalahkan, dan kehebatan mempertahankan diri, Guan Yu diraikan sebagai teladan kepahlawanan dan kebajikan, dihormati oleh jutaan orang sebagai dewa perang dan kebenaran. Sertai kami sambil kami menyelidiki kehidupan dan warisan tokoh ikonik ini, meneroka peranannya dalam sejarah, mitologi dan budaya popular.

Guan Yu dilahirkan pada lewat Dinasti Han (c. 160–219 CE) di wilayah yang kini dikenali sebagai Provinsi Shanxi, China. Sedikit yang diketahui tentang kehidupan awalnya, tetapi menurut catatan sejarah dan cerita rakyat, dia adalah seorang pahlawan yang mahir dari usia muda dan terkenal dengan kekuatan, keberanian, dan integritinya yang luar biasa.

Guan Yu menjadi terkenal semasa tempoh bergolak era Tiga Kerajaan, zaman perang saudara dan pergolakan politik di China. Dia menjalin ikatan persaudaraan dengan Liu Bei dan Zhang Fei yang akan membentuk perjalanan sejarah, mengikrarkan kesetiaannya kepada Liu Bei dan berkhidmat sebagai salah seorang jeneral dan penasihatnya yang paling dipercayai sepanjang tahun-tahun huru-hara dalam tempoh Tiga Kerajaan. Eksploitasi ketenteraan Guan Yu dan kesetiaan yang tidak berbelah bahagi menjadikannya legenda di medan perang, menjadikannya gelaran "Saint of War" dan mengabadikan legasinya untuk generasi akan datang.

Early life and career

Guan Yu was from Xie County (解縣), Hedong Commandery, which is present-day Yuncheng, Shanxi. His original courtesy name was Changsheng (長生).[Sanguozhi 1] He was very studious, and was interested in the ancient history book Zuo zhuan and could fluently recite lines from it.[Sanguozhi others 1][Sanguozhi zhu 1] He fled from his hometown for unknown reasons[h] and went to Zhuo Commandery. When the Yellow Turban Rebellion broke out in the 180s, Guan Yu and Zhang Fei joined a volunteer militia formed by Liu Bei, and they assisted a colonel Zou Jing in suppressing the revolt.[Sanguozhi 2][Sanguozhi others 2] Guan Yu and Zhang Fei were known as stalwart and strong men; which made them talented fighters.[9]

When Liu Bei was appointed as the Minister (相) of Pingyuan, Guan Yu and Zhang Fei were appointed as Majors of Separate Command (别部司马), each commanding detachments of soldiers under Liu Bei. Liu Bei cherished them as if they were his own brothers and the three of them were as close as brothers to the point of sharing the same room, sleeping on the same mat and eating from the same pot.[10] Zhang Fei and Guan Yu protected Liu Bei whenever there were large crowds of people and also stood guard beside him when he sat down at meetings all day long. They followed him on his exploits and were always ready to face any danger and hardship.[Sanguozhi 3] And for their military prowess were appraised as "enemy of ten-thousand".[Sanguozhi 4] Guan Yu was noted for his kindness towards his soldiers and fealty to Liu Bei akin to family, but had no respect for the gentry and treated them without courtesy.[Sanguozhi others 3][Sanguozhi 5][Sanguozhi others 4]

Asking Zhuge Liang about Ma Chao

In 214, Ma Chao defected from Zhang Lu's side to Liu Bei's forces, and he assisted Liu Bei in pressuring Liu Zhang to surrender and yield Yi Province to Liu Bei. When Guan Yu received news that Ma Chao (whom he was unfamiliar with) had recently joined them, he wrote to Zhuge Liang in Yi Province and asked him who was comparable to Ma Chao. Zhuge Liang knew that Guan Yu was defending the border (so he should not displease Guan Yu). He replied: "Mengqi is proficient in both civil and military affairs. He is fierce and mighty, and a hero of his time. He is comparable to Qing Bu and Peng Yue. He can compete with Yide, but he is not as good as the peerless beard."[b][Sanguozhi 22]

Guan Yu was very pleased when he received Zhuge Liang's reply and he welcomed Ma Chao.[Sanguozhi 23]

Guan Yu was once injured in the left arm by a stray arrow which pierced through his arm. Although the wound healed, he still experienced pain in the bone whenever there was a heavy downpour. A physician told him, "The arrowhead had poison on it and the poison had seeped into the bone. The way to get rid of this problem is to cut open your arm and scrape away the poison in your bone." Guan Yu then stretched out his arm and asked the physician to heal him. He then invited his subordinates to dine with him while the surgery was being performed. Blood flowed from his arm into a container below. Throughout the operation, Guan Yu feasted, consumed alcohol and chatted with his men as though nothing had happened.[Sanguozhi 24]

Guan Yu had two known sons – Guan Ping and Guan Xing. Guan Xing inherited his father's title "Marquis of Hanshou Village" (漢壽亭侯) and served in the state of Shu during the Three Kingdoms period.[Sanguozhi 25] Guan Yu also had a daughter. Sun Quan once proposed a marriage between his son and Guan Yu's daughter, but Guan Yu rejected the proposal. Her name was not recorded in history, but she was known as "Guan Yinping" (關銀屏) or "Guan Feng" (關鳳) in folktales and Chinese opera, as well as in the Dynasty Warriors video game series (as Guan Yinping). Guan Yu allegedly had a third son, Guan Suo, who is not mentioned in historical texts and appears only in folklore, the Romance of the Three Kingdoms novel, and in Dynasty Warriors.

Guan Xing's son, Guan Tong (關統), married a princess (one of Liu Shan's daughters) and served as a General of the Household (中郎將) among the imperial guards. Guan Tong had no son when he died, so he was succeeded by his younger half-brother Guan Yi (關彝).[Sanguozhi 26]

According to the Shu Ji, after the fall of Shu in 263, Pang Hui (Pang De's son) massacred Guan Yu's family and descendants to avenge his father, who was executed by Guan Yu after the Battle of Fancheng in 219.[Sanguozhi zhu 16]

In 1719, the Kangxi Emperor of the Qing dynasty awarded the hereditary title "Wujing Boshi" (五經博士; "Professor of the Five Classics") to Guan Yu's descendants living in Luoyang. The bearer of the title is entitled to an honorary position in the Hanlin Academy.

Chen Shou, who wrote Guan Yu's biography in the Sanguozhi, commented on the latter as such: "Guan Yu and Zhang Fei were praised as mighty warriors capable of fighting ten thousand of enemies (萬人敵). They were like tigers among (Liu Bei's) subjects. Guan Yu and Zhang Fei both had the style of a guoshi.[k] Guan Yu repaid Cao Cao's kindness while Zhang Fei released Yan Yan out of righteousness. However, Guan Yu was unrelenting and conceited while Zhang Fei was brutal and heartless. These shortcomings resulted in their downfalls. This was not something uncommon."[Sanguozhi 27]

Guan Yu was deified as early as the Sui dynasty (581–618), and is still worshipped today as a bodhisattva in Buddhist tradition and as a guardian deity in Chinese folk religion and Taoism. He is also held in high esteem in Confucianism and in new religious movements such as Yiguandao.

In Chinese folk religion, Guan Yu is widely referred to as "Emperor Guan" (關帝; Guāndì; dì implies deified status) and "Lord Guan" (關公; Guān Gōng), while his Taoist title is "Holy Emperor Lord Guan" (關聖帝君; Guān Shèng Dì Jūn). Martial temples and shrines dedicated exclusively to Guan Yu can be found across mainland China, Hong Kong, Macau, Taiwan, and other places with Chinese influence such as Vietnam, South Korea and Japan. Some of these temples, such as the Guandi Temple in Xiezhou (解州), Shanxi, were built exactly in the layout of an imperial residence, befitting his status as a "ruler". Other examples of Guan Yu temples in China include the Guandi Temple of Jinan and the Guanlin Temple of Luoyang.[16]

The apotheosis of Guan Yu occurred in stages, as he was given ever higher posthumous titles. Liu Shan, the second emperor of Shu, gave Guan Yu the posthumous title of "Marquis Zhuangmou" (壯繆侯) four decades after his death. During the Song dynasty, Emperor Huizong bestowed upon Guan Yu the title "Duke Zhonghui" (忠惠公), and later the title of a prince. In 1187, Emperor Xiaozong honoured Guan Yu as "Prince Zhuangmou Yiyong Wu'an Yingji" (壯繆義勇武安英濟王). During the Yuan dynasty, Emperor Wenzong changed Guan Yu's title to "Prince of Xianling Yiyong Wu'an Yingji" (顯靈義勇武安英濟王).

In 1614, the Wanli Emperor bestowed on Guan Yu the title "Holy Emperor Guan, the Great God Who Subdues Demons in the Three Worlds and Whose Awe Spreads Far and Moves Heaven" (三界伏魔大神威遠震天尊關聖帝君). During the Qing dynasty, the Shunzhi Emperor gave Guan Yu the title of "Guan, the Loyal and Righteous God of War, the Holy Great Emperor" (忠義神武關聖大帝) in 1644. This title was expanded to "Guan the Holy Great Emperor; God of War Manifesting Benevolence, Bravery and Prestige; Protector of the Country and Defender of the People; Proud and Honest Supporter of Peace and Reconciliation; Promoter of Morality, Loyalty and Righteousness" (仁勇威顯護國保民精誠綏靖翊贊宣德忠義神武關聖大帝), a total of 24 Chinese characters, by the mid-19th century. It is often shortened to "Saint of War" (武聖; Wǔ Shèng), which is of the same rank as Confucius, who is honoured the "Saint of Culture" (文聖; Wén Shèng). The Qing dynasty promoted the worship of Guan Yu among the Mongol tribes, making him one of their most revered religious figures, second only to their lamas.

Throughout history, Guan Yu has also been credited with many military successes. In the 14th century, his spirit was said to have aided Zhu Yuanzhang, the founder of the Ming dynasty, at the Battle of Lake Poyang. In 1402, when Zhu Di launched a coup d'état and successfully deposed his nephew, the Jianwen Emperor, Zhu Di claimed that he was blessed by the spirit of Guan Yu. During the last decade of the 16th century, Guan Yu was also credited with the repulse of Japanese invasion of Korea by Toyotomi Hideyoshi. The Manchu imperial clan of the Qing dynasty was also associated with Guan Yu's martial qualities. During the 20th century, Guan Yu was worshipped by the warlord Yuan Shikai, president and later a short-lived emperor of China.

Guan Yu's messages were received by mediums through spirit writing, later called Fuji (planchette writing) (扶乩/扶箕), since the late 17th century. "By the mid-Qianlong period (1736–96) the number of 'sacred edicts' issued by Guandi ordering people to do good and help those in need became increasingly frequent." In the 19th century, Guandi's messages received through spirit writing assumed a millennialist character. Dates were announced for the end of the world, followed by messages indicating that Guandi had "prevented the apocalypse" and was indeed "the savior of endtimes." In 1866, the Ten Completions Society (Shiquanhui 十全會) was established to propagate the messages of Guandi and promote the charitable work his spirit had ordered to perform. The tradition of Guandi spirit writing continued in Chinese folk Religion well into the 20th century.[18]

Today, Guan Yu is still widely worshipped by the Chinese; he may be worshipped in Martial temples and Wen Wu temples, and small shrines devoted to him are also found in homes, businesses and fraternal organisations. In Hong Kong, a shrine to Guan Yu can be found in every police station. Though by no means mandatory, Chinese police officers worship and pay respect to him. Although seemingly ironic, members of the triads and Heaven and Earth Society worship Guan Yu as well. Statues used by triads tend to hold the halberd in the left hand, and statues in police stations tend to hold the halberd in the right hand. This signifies which side Guan Yu is worshipped, by the righteous people or vice versa. The appearance of Guan Yu's face for the triads is usually more stern and threatening than the usual statue. In Hong Kong, Guan Yu is often referred to as "Yi Gor" (二哥; Cantonese for "second elder brother") for he was second to Liu Bei in their fictional sworn brotherhood. Guan Yu is also worshipped by Chinese businessmen in Shanxi, Hong Kong, Macau and Southeast Asia as an alternative wealth god, since he is perceived to bless the upright and protect them from the wicked. Another reason is related to the release of Cao Cao during the Huarong Trail incident, in which he let Cao and his men pass through safely. For that, he was perceived to be able to extend the lifespan of people in need. Among Chinese Filipinos in the Philippines, Guan Yu is also sometimes known as "Santo Santiago" (St. James) or in Hokkien as "Te Ya Kong" (Hokkien Chinese: 帝爺公; Pe̍h-ōe-jī: Tè-iâ-kong) or "Kuan Kong" (Hokkien Chinese: 關公; Pe̍h-ōe-jī: Koan-kong).[19]

Among the Cantonese people who emigrated to California during the mid-19th century, the worship of Guan Yu was an important element. Statues and tapestry images of the god can be found in a number of historical California joss houses (a local term for Chinese folk religion temples), where his name may be given with various Anglicised spellings, including: Kwan Dai, Kwan Tai or Kuan Ti for Guandi (Emperor Guan); Kuan Kung for Guan Gong (Lord Guan), Wu Ti or Mo Dai for Wu Di (War Deity), Kuan Yu, Kwan Yu, or Quan Yu for Guan Yu. The Mendocino Joss House, a historical landmark also known as Mo Dai Miu (Wudimiao, i.e. the Temple of the Deity of War), or Temple of Kwan Tai, built in 1852, is a typical example of the small shrines erected to Guan Yu in the United States.

Guan Yu is also worshipped as a door god in Chinese and Taoist temples, with portraits of him being pasted on doors to ward off evil spirits, usually in pairings with Zhang Fei, Guan Ping, Guan Sheng or Zhou Cang.

Apart from general worship, Guan Yu is also commemorated in China with colossal statues such as the 1,320-tonne sculpture in Jingzhou City, Hubei Province, standing at 58 metres.[20]

Guan Yu is revered as "Holy Ruler Deity Guan" (關聖帝君; Guān Shèng Dì Jūn) and a leading subduer of demons in Taoism. Taoist worship of Guan Yu began during the Song dynasty. Legend has it that during the second decade of the 12th century, the saltwater lake in Xiezhou gradually ceased to yield salt. Emperor Huizong then summoned Zhang Jixian (張繼先), a 30th-generation descendant of Zhang Daoling, to investigate the cause. The emperor was told that the disruption was the work of Chi You, a deity of war. Zhang Jixian then recruited the help of Guan Yu, who battled Chi You over the lake and triumphed, whereupon the lake resumed salt production. Emperor Huizong then bestowed upon Guan Yu the title "Immortal of Chongning" (崇寧真君; Chóngníng Zhēnjūn), formally introducing the latter as a deity into Taoism.[citation needed]

In the early Ming dynasty, the 42nd Celestial Master, Zhang Zhengchang (張正常), recorded the incident in his book Lineage of the Han Celestial Masters (漢天師世家), the first Taoist classic to affirm the legend. Today, Taoist practices are predominant in Guan Yu worship. Many temples dedicated to Guan Yu, including the Emperor Guan Temple in Xiezhou County, show heavy Taoist influence. Every year, on the 24th day of the sixth month on the lunar calendar (Guan Yu's birthday in legend), a street parade in Guan Yu's honour would also be held.[citation needed]

In Chinese Buddhism, Guan Yu is revered by most Chinese Mahayana Buddhists as Sangharama Bodhisattva (伽蓝菩萨; 伽藍菩薩; Qiélán Púsà) a heavenly protector of the Buddhist dharma. Sangharama in Sanskrit means 'community garden' (sangha, community + arama, garden) and thus 'monastery'. The term Sangharama also refer to the dharmapala class of devas and spirits assigned to guard the Buddhist monastery, the dharma, and the faith itself. Over time and as an act of syncreticism, Guan Yu was seen as the representative guardian of the temple and the garden in which it stands. His statue traditionally is situated in the far left of the main altar, opposite his counterpart Skanda.[citation needed]

According to Buddhist legends, in 592, Guan Yu manifested himself one night before the Chan master Zhiyi, the founder of the Tiantai school of Buddhism, along with a retinue of spiritual beings. Zhiyi was then in deep meditation on Jade Spring Hill (玉泉山) when he was distracted by Guan Yu's presence. Guan Yu then requested the master to teach him about the dharma. After receiving Buddhist teachings from the master, Guan Yu took refuge in the triple gems and also requested the Five Precepts. Henceforth, it is said that Guan Yu made a vow to become a guardian of temples and the dharma. Legends also claim that Guan Yu assisted Zhiyi in the construction of the Yuquan Temple, which still stands today.[citation needed]

Guarding Jing Province

Between 212 and 214, Liu Bei started a campaign to seize control of Yi Province from the provincial governor Liu Zhang. Most of Liu Bei's subordinates participated in the campaign, while Guan Yu remained behind to guard and oversee Liu Bei's territories in Jing Province.[Sanguozhi 14]

Alternate account from the Shu Ji

The Shu Ji mentioned that Sun Quan initially wanted to keep Guan Yu alive in the hope of using Guan Yu to help him counter Liu Bei and Cao Cao. However, his followers advised him against doing so by saying, "A wolf shouldn't be kept as a pet as it'll bring harm to the keeper. Cao Cao made a mistake when he refused to kill Guan Yu and landed himself in deep trouble. He even had to consider relocating the imperial capital elsewhere. How can Guan Yu be allowed to live?" Sun Quan then ordered Guan Yu's execution.[Sanguozhi zhu 9]

Pei Songzhi disputed this account as follows:

According to (Wei Zhao's) Book of Wu, when Sun Quan sent Pan Zhang to block Guan Yu's retreat route, Guan Yu was executed after he was captured. Linju was about 200 to 300 li away from Jiangling, so how was it possible that Guan Yu was kept alive while Sun Quan and his subjects discussed whether to execute him or not? The claim that 'Sun Quan wanted to keep Guan Yu alive for the purpose of using him to counter Liu Bei and Cao Cao' does not make sense. It was probably meant to silence smart people.[Sanguozhi zhu 10]

Sun Quan sent Guan Yu's head to Cao Cao, who arranged a noble's funeral for Guan Yu and had his head properly buried with full honours.[Sanguozhi zhu 11] In October or November 260, Liu Shan granted Guan Yu the posthumous title "Marquis Zhuangmou" (壯繆侯).[Sanguozhi 20][Sanguozhi others 19] According to posthumous naming rules in the Yi Zhou Shu, "mou" was meant for a person who failed to live up to his reputation.[12]

Encounter with Xu Huang

Cao Cao later sent Xu Huang to lead another army to reinforce Cao Ren at Fancheng. Xu Huang broke through Guan Yu's encirclement and routed Guan Yu's forces on the battlefield, thus lifting the siege on Fancheng.[Sanguozhi others 15] Guan Yu withdrew his forces after seeing that he could not capture Fancheng.[Sanguozhi 17] The Shu Ji recorded an incident about Xu Huang encountering Guan Yu on the battlefield. Xu Huang was previously a close friend of Guan Yu. They often chatted about other things apart from military affairs. When they met again at Fancheng, Xu Huang gave an order to his men: "Whoever takes Guan Yu's head will be rewarded with 1,000 jin of gold." A shocked Guan Yu asked Xu Huang, "Brother, what are you talking about?" Xu Huang replied, "This is an affair of the state."[Sanguozhi zhu 6]

Although Guan Yu defeated and captured Yu Jin at Fancheng, his army found itself lacking food supplies, so he seized grain from one of Sun Quan's granaries at Xiang Pass (湘關). By then, Sun Quan had secretly agreed to an alliance with Cao Cao and sent Lü Meng and others to invade Jing Province while he followed behind with reinforcements. At Xunyang (尋陽), Lü Meng ordered his troops to hide in vessels disguised as civilian and merchant ships and sail towards Jing Province. Along the way, Lü Meng infiltrated and disabled the watchtowers set up by Guan Yu along the river, so Guan Yu was totally unaware of the invasion.[Sanguozhi others 16]

When Guan Yu embarked on the Fancheng campaign, he left Mi Fang and Shi Ren behind to defend his key bases in Jing Province – Nan Commandery and Gong'an. Guan Yu had constantly treated them with contempt. During the campaign, after Mi Fang and Shi Ren sent insufficient supplies to Guan Yu's army at the frontline, an annoyed Guan Yu said, "I will deal with them when I return." Mi Fang and Shi Ren felt uneasy about this. When Sun Quan invaded Jing Province, Lü Meng showed understanding towards Mi Fang and successfully induced him into surrendering while Yu Fan also persuaded Shi Ren to give up resistance. With the exceptions of the northwest, Liu Bei's territories in Jing Province fell under Sun Quan's control after the surrenders of Mi Fang and Shi Ren.[Sanguozhi 18]

Legasi dan Pengaruh Budaya

Warisan Guan Yu menjangkau jauh melangkaui halaman sejarah dan kesusasteraan, meresapi setiap aspek budaya dan masyarakat Cina. Imejnya dihormati di kuil dan kuil di seluruh China, di mana dia disembah sebagai dewa perang dan perlindungan. Perbuatan lagendanya telah mengilhamkan banyak karya seni, kesusasteraan dan budaya popular, daripada opera Cina klasik kepada filem dan permainan video moden.

Kesimpulannya, 关羽 (Guan Yu) kekal sebagai tokoh yang menjulang tinggi dalam sejarah dan mitologi China, dihormati sebagai simbol kesetiaan, penghormatan, dan kebajikan mempertahankan diri. Kisahnya terus memikat penonton di seluruh dunia, berfungsi sebagai peringatan abadi tentang kuasa keberanian, integriti, dan persaudaraan. Sambil kita meraikan legasinya, marilah kita menghormati semangat Guan Yu dan berusaha untuk menerapkan sifat mulianya dalam kehidupan kita sendiri.