Hukum Menerima Uang Serangan Fajar
Terkait serangan fajar atau pemberian uang untuk mendukung calon tertentu pernah dibahas oleh KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya. Persoalan hukum politik ini dibahas Buya Yahya ketika mendapat pertanyaan dari jemaahnya.
Buya Yahya menuturkan, seorang muslim memiliki kewibawaan yang tidak bisa dibeli apapun. Muslim tidak boleh menukar akhlaknya, agamanya, dan imannya yang secara khusus untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Tidak boleh ditukar akhlak kita, agama kita, iman kita. Maka ini perlu pembiasaan. Jangan dikit-dikit main imbalan, main pemberian,” kata Buya Yahya, dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Sabtu (10/2/2024).
Buya Yahya tak menampik jika ada timses caleg atau capres yang memberinya secara tulus dan ikhlas. Namun, menurut Buya Yahya, persoalan dalam politik uang bukan tulus atau tidak.
“Walaupun seandainya pemberiannya itu ikhlas, tulus, permasalahannya bukan itu. Hati kita itu cenderung kepada dunia kuat sekali, sehingga menjadi kita itu tidak enakan karena merasa kita sudah menerima. Padahal dia tidak pantas untuk kita pilih lalu kita pilih. Maka lebih baik urusan hadiah jangan dihubungkan dengan pemilihan,” imbuh Pengasuh LPD Al Bahjah ini.
Lebih lanjut Buya Yahya mempertanyakan sumber uang yang digunakan dalam praktik money politic. Menurutnya, umat harus jeli jangan asal terima uang dari timses.
“Mungkin dia orang terkaya di negeri ini. Duitnya sendiri mungkin yang dibagi-bagi. Kalau duit pinjaman, misalnya, kita tidak tahu nggak boleh suudzon juga. Artinya kemungkinan pahit itu harus kita hadirkan supaya kita tidak gampang nerima,” ujarnya.
Namun, yang dikhawatirkan Buya Yahya adalah uang dari hasil janji-janji dengan pengusaha, sehingga nanti jika terpilih akan lebih mementingkan pengusaha tersebut.
“Nah, setelah jadi bagaimana dia akan menyejahterakan rakyat sementara dia sendiri punya kewajiban untuk mengembalikan (dana) karena dia nggak punya duit, tapi kok bisa bagi-bagi duit kan aneh,” tuturnya.
“Jadi banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjadikan kita jerumuskan dia. Kalau memang kita percaya dia orang baik, kita katakan, pak cukup gak usah Anda keluarkan uang karena aku tahu kamu orang baik dan kamu tidak punya duit. Maka gak usah bagi-bagi. Karena kamu baik kamu maka saya akan pilih,” Buya Yahya menambahkan.
Menurut Buya Yahya, timses caleg atau capres yang yang bagi-bagi uang harus diwaspadai. “Jangan-jangan duit saya nanti itu akan diambil dari saya di ke depan hari dengan bermacam-macam upaya. Harus curiga dengan yang suka bagi-bagi yang demikian itu,” katanya.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar 14 Februari 2024, perbincangan terkait politik uang atau lebih dikenal serangan fajar tak pernah lepas.
Berikut penjelasan MUI dan Nahdatul Ulama (NU) terkait hukum menerima uang serangan fajar menurut Islam.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.
Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih.
Misalnya menyuap atau dikenal serangan fajar.
Baca juga: Sehari Jelang Pemungutan Suara, 27 TPS di Gorontalo Roboh
"Sehingga itu hukumnya haram," jelasnya di kantor MUI, Jakarta, Selasa (13/2/2024).
Prof Niam menegaskan, praktik tersebut hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.
Diharapkan, memilih pemimpin berdasarkan kompetensi.
Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.
"Dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi," ungkap Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini.
Baca juga: Amankan Pemilu, 195.819 Personel Polri Disebar ke TPS Jelang Pemungutan Suara
Lebih jauh, para pelaku dan penerima uang serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.
Pihaknya juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.
Dari sudut pandang NU, uang suap politik atau materi lain kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka dalam pemilu dipandang sangat berbahaya bagi demokrasi dan telah menjadi sorotan utama dalam diskusi di Munas-Konbes NU tahun 2002 tentang Money Politic dan Hibah terhadap Pejabat.
Dalam Islam, hal ini dikategorikan sebagai suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah SWT, baik pemberi (raisy), penerima (murtasyi), maupun perantara (raaisy), semuanya berdosa.
Dengan demikian, Muktamar NU pada tahun 2002 dengan tegas memutuskan bahwa melakukan tindak politik uang bertentangan dengan syariat Islam dan karenanya diharamkan.
Pelanggengan sistem ini akan merusak sendi-sendi demokrasi, seperti merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kapabilitas.
MUI: Memberi dan Menerima 'Serangan Fajar' Hukumnya Haram
JAKARTA, MUI.OR.ID– Sehari jelang pemilihan umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai adanya politik uang atau lebih dikenal 'serangan fajar'.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, memilih pemimpin harus berdasarkan kompetensi. Pemimpin yang terpilih idealnya yang mengemban amanah demi kemaslahatan.
"Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shiddiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya," kata Prof Niam dalam keterangan yang diterima MUIDigital, Selasa (13/2/2024) di sela-sela Rapat Pimpinan Harian rutin MUI di Aula Buya Hamka, Jakarta.
Prof Niam menambahkan, dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada sifat tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi.
Oleh karena itu, Prof Niam menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta.
"Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram," jelasnya.
Prof Niam menegaskan, praktik tersebut yang dikenal dengan serangan fajar hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya.
Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini mengungungkapkan, para pelaku dan penerima serangan fajar juga hidupnya tidak berkah.
Prof Niam menyampaikan, Majelis Ulama Indonesia juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.
Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
(Sadam Alghifari/Azhar)
Menjelang Pilkada biasanya terjadi serangan fajar. Istilah ini merujuk pada praktik politik uang yang dilakukan beberapa jam sebelum pemungutan suara. Dalam perspektif Islam, politik uang dikenal sebagai risywah atau suap. Tindakan ini secara tegas diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam literatur Islam klasik, seperti Lisan al-Arab dan Mu’jam al-Wasith, risywah didefinisikan sebagai pemberian yang bertujuan membatalkan kebenaran atau menegakkan kebatilan. Dalam konteks politik, risywah berarti pemberian dalam bentuk apa pun yang ditujukan untuk memengaruhi pilihan pemilih agar mendukung calon tertentu.
Hukum Islam memandang risywah sebagai dosa besar. Firman Allah dalam QS al-Baqarah (2): 188 menegaskan,
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Larangan ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi,
“Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap” [HR Abu Dawud no. 3580 dan al-Hakim no. 7066]. Kata “laknat” menunjukkan betapa beratnya dosa ini dalam pandangan Islam.
Dalam konteks pemilu, politik uang bukan hanya melibatkan pemberi dan penerima, tetapi juga pihak-pihak lain yang mendukung atau membiarkan praktik ini terjadi. Bahkan, penyuapan tetaplah haram meskipun diberi nama hibah atau sumbangan, atau meskipun dilakukan dalam nominal kecil. Praktik politik uang yang menggunakan dana publik juga termasuk tindak kejahatan besar karena melibatkan pelanggaran amanah rakyat.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh politik uang tidak hanya bersifat material, tetapi juga moral. Masyarakat menjadi apatis, hanya peduli pada keuntungan sesaat tanpa memikirkan dampak jangka panjang. Fenomena ini sejalan dengan peringatan Allah dalam QS al-Baqarah (2): 205,
“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”
Kerusakan moral akibat politik uang memperlihatkan pengabaian terhadap nilai-nilai kejujuran, amanah, dan keadilan, yang menjadi pilar utama keberlangsungan masyarakat.
Menyikapi serangan fajar sebagai bagian dari politik uang, masyarakat Muslim harus memahami bahwa keterlibatan dalam praktik ini, baik sebagai penerima, pemberi, maupun pendukung, berarti turut serta dalam perbuatan dosa besar.
Untuk membangun demokrasi yang bersih dan bermartabat, setiap pihak harus berkomitmen menolak segala bentuk politik uang. Kesadaran kolektif ini menjadi langkah awal untuk menghentikan siklus kezaliman yang ditimbulkan oleh praktik ini. Firman Allah dalam QS al-Ma’idah (5): 2,
“Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Bunyi ayat di atas berisi peringatan untuk menghindari tindakan yang merusak kepercayaan publik. Karenanya, praktik risywah berpotensi besar menciptakan pemimpin yang tidak amanah. Penting bagi umat Islam untuk menjadikan pemilu sebagai momen memperkuat nilai-nilai moral, bukan sekadar ajang transaksional.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Politik Uang (Money Politics)”, Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 1-15 Maret 2024.
Assalamualaikum Ustadz, saya mau bertanya, kebetulan saya mempunyai usaha perdagangan, dan kebetulan mempunyai seorang pelanggan yang termasuk pembeli yang paling banyak belanja ditempat saya. Tetapi belakangan menurut berita yang beredar, baru saya ketahui kalau beliau adalah pengusaha yang memperoleh penghasilan dari usaha/pekerjaan yang haram,, Pertanyaan saya adalah apabila pelanggan tersebut belanja di tempat saya menggunakan uang yang diperoleh dari pekerjaan/usaha yang haram, yang mana uang tersebut adalah uang haram, apakah uang tersebut hukumnya haram bagi saya, padahal uang tersebut untuk pembayaran barang yang saya jual? Terimakasih. Wa alaikumus salam wr wb. Para ulama berbeda pendapat pendapat tentang status menerima unag haram yang memang sudah diapstikan keharamannya. Yang dimaksud sudah dipastikan keharamannya adalah bahwa uang tersebut didapat dari cara yang tidak halal. Misalnya menerima uang hasil curian yang memang kita tahu secara pasti bahwa uang itu hasil curian. Sedangkan jika baru sebatas dugaan atau rumor, statusnya belum jelas. Karena belum jelas, fiqh menghukuminya secara zahir, bahwa uang itu adalah uang bersih atau bukan didapatkan dari cara yang haram. Mengenai uang yang sudah dipastikan keharamannya, para Ulama berbeda pendapat;